Mungkin pondok pesantren putri yang berbasis di Suci, Manyar, Gresik ini adalah satu-satunya pondok pesantren Nahdlatul Ulama (NU) yang mewajibkan santriwatinya memakai cadar. Jika suatu Anda saat lewat di jalan raya yang menghubungkan Bunder dan Manyar, mungkin Anda akan terkejut karena banyak menjumpai gadis-gadis muslimah memakai cadar. Rata-rata berwarna hitam. Ya, merekalah santriwati pondok pesantren Mambaus Sholihin putri.
Diwajibkan memakai cadar ketika keluar pondok dengan alasan menghindari fitnah, segera ditaati oleh seluruh santriwati. Meskipun awalnya mereka tidak terbiasa, mereka memahami bahwa ada kebaikan dalam aturan baru yang dikeluarkan oleh pesantren. Mengingat, di seberang jalan ada pondok pesantren putra, baik Mambaus Sholihin maupun pesantren lainnya. Dengan tidak memperlihatkan wajah, maka tidak ada santri yang tertarik atau jatuh cinta dengan santriwati. Tidak bisa lagi dibedakan mana santriwati yang cantik, dan mana santriwati yang wajahnya biasa-biasa saja. Namun, tidak demikian dengan salah seorang santriwati, sebut saja namanya Laila.
Laila tidak mau memakai cadar. Ia beralasan, wajah bukan aurat yang harus ditutup. Kalau berkerudung memang untuk menutup rambut yang merupakan aurat. Tetapi memakai cadar?
Ia pun mengkritisi kebijakan itu. Ia berani beradu argumen dengan ustadz dan ustadzah untuk mempertahankan diri bahwa tidak semestinya ia diharuskan memakai cadar.
Waktu berlalu, tahun berganti. Laila dan teman-temannya pun lulus dari pesantren. Dan seperti yang mereka pahami, cadar hanyalah kebijakan pesantren sewaktu nyantri. Saat mereka telah lulus dan kembali ke kampung halamannya, mereka tak lagi memakai cadar seperti sebelumnya.
Beberapa tahun kemudian, pesantren menggelar temu alumni. Bertepatan dengan halal bi halal. Satu per satu santriwati datang, saling melepas rindu. Mereka hafal betul teman-temannya meskipun sudah lama tidak berjumpa. Kecuali satu orang yang mereka tidak dapat mengenalinya. “Kamu siapa?” tanya mereka. “Aku Laila” jawab suara dari balik cadar. Suara itu tidak asing bagi mereka. “Masya Allah… Laila!” kata mereka setengah berteriak karena terkejut, “Kamu kan dulu menentang cadar, sekarang malah memakainya.” “Ya, aku dulu menentang cadar karena bertentangan dengan pemahamanku. Sekarang aku memakai cadar karena aku memahami hikmahnya.”
Demikianlah, rupanya setelah lulus dari pesantren Laila menikah dengan seorang Ikhwan salafi. Melaluinya, Laila mulai berubah memandang cadar. Jika ia dulu membencinya, ia kini justru menjadi satu-satunya alumni pesantren yang memakai cadar sehari-harinya.
“Berarti kamu ini kualat, dulu suka menentang cadar. Ustadz dan ustadzah mendoakanmu mendapatkan hidayah dan kini kamu akhirnya cinta sama cadar,” kata salah seorang teman Laila dengan nada bercanda.
Cadar, burqa dan penutup wajah sejenisnya diperselisihkan hukumnya oleh para ulama, antara mubah, sunnah dan wajib. Mazhab Hanafi berpendapat wajah bukanlah aurat. Namun memakai cadar hukumnya sunnah dan menjadi wajib jika dikhawatirkan terbukanya wajah mendatangkan fitnah.Mazhab Maliki juga berpendapat sama. Bahkan, ulama mazhab Syafi’i seperti Muhammad bin Qasim Al Ghazi penulis Fathul Qarib, berpendapat menutup wajah di depan laki-laki non mahram adalah wajib. Sedangkan Syaikh Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa memakai cadar hukumnya mubah, sebab aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Syaikh Nasiruddin Al Albani juga sependapat dengan Yusuf Qardhawi bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat.
Tulisan ini bukan untuk menguatkan apakah memakai cadar mubah, sunnah atau wajib. Tetapi, tulisan ini hanya mengingatkan, bahwa Allah Maha Kuasa untuk membolak-balikkan hati seorang hamba. Maka mohonlah taufiq kepadaNya. Maka doakanlah murid atau santri agar mendapatkan taufiqNya. Maka doakanlah suami atau istri jika ada masalah dengannya. Dan sepanjang pemahaman dan sikap seseorang hanya berbeda dalam hal yang diperselisihkan para ulama, mari kita bertoleransi dan berlapang dada. Diwajibkan memakai cadar ketika keluar pondok dengan alasan menghindari fitnah, segera ditaati oleh seluruh santriwati. Meskipun awalnya mereka tidak terbiasa, mereka memahami bahwa ada kebaikan dalam aturan baru yang dikeluarkan oleh pesantren. Mengingat, di seberang jalan ada pondok pesantren putra, baik Mambaus Sholihin maupun pesantren lainnya. Dengan tidak memperlihatkan wajah, maka tidak ada santri yang tertarik atau jatuh cinta dengan santriwati. Tidak bisa lagi dibedakan mana santriwati yang cantik, dan mana santriwati yang wajahnya biasa-biasa saja. Namun, tidak demikian dengan salah seorang santriwati, sebut saja namanya Laila. Laila tidak mau memakai cadar. Ia beralasan, wajah bukan aurat yang harus ditutup. Kalau berkerudung memang untuk menutup rambut yang merupakan aurat. Tetapi memakai cadar? Ia pun mengkritisi kebijakan itu. Ia berani beradu argumen dengan ustadz dan ustadzah untuk mempertahankan diri bahwa tidak semestinya ia diharuskan memakai cadar. Waktu berlalu, tahun berganti. Laila dan teman-temannya pun lulus dari pesantren. Dan seperti yang mereka pahami, cadar hanyalah kebijakan pesantren sewaktu nyantri. Saat mereka telah lulus dan kembali ke kampung halamannya, mereka tak lagi memakai cadar seperti sebelumnya. Beberapa tahun kemudian, pesantren menggelar temu alumni. Bertepatan dengan halal bi halal. Satu per satu santriwati datang, saling melepas rindu. Mereka hafal betul teman-temannya meskipun sudah lama tidak berjumpa. Kecuali satu orang yang mereka tidak dapat mengenalinya. “Kamu siapa?” tanya mereka.“Aku Laila” jawab suara dari balik cadar. Suara itu tidak asing bagi mereka.“Masya Allah… Laila!” kata mereka setengah berteriak karena terkejut, “Kamu kan dulu menentang cadar, sekarang malah memakainya.”“Ya, aku dulu menentang cadar karena bertentangan dengan pemahamanku. Sekarang aku memakai cadar karena aku memahami hikmahnya.” Demikianlah, rupanya setelah lulus dari pesantren Laila menikah dengan seorang Ikhwan salafi. Melaluinya, Laila mulai berubah memandang cadar. Jika ia dulu membencinya, ia kini justru menjadi satu-satunya alumni pesantren yang memakai cadar sehari-harinya. “Berarti kamu ini kualat, dulu suka menentang cadar. Ustadz dan ustadzah mendoakanmu mendapatkan hidayah dan kini kamu akhirnya cinta sama cadar,” kata salah seorang teman Laila dengan nada bercanda. Cadar, burqa dan penutup wajah sejenisnya diperselisihkan hukumnya oleh para ulama, antara mubah, sunnah dan wajib. Mazhab Hanafi berpendapat wajah bukanlah aurat. Namun memakai cadar hukumnya sunnah dan menjadi wajib jika dikhawatirkan terbukanya wajah mendatangkan fitnah.Mazhab Maliki juga berpendapat sama. Bahkan, ulama mazhab Syafi’i seperti Muhammad bin Qasim Al Ghazi penulis Fathul Qarib, berpendapat menutup wajah di depan laki-laki non mahram adalah wajib. Sedangkan Syaikh Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa memakai cadar hukumnya mubah, sebab aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Syaikh Nasiruddin Al Albani juga sependapat dengan Yusuf Qardhawi bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat. Tulisan ini bukan untuk menguatkan apakah memakai cadar mubah, sunnah atau wajib. Tetapi, tulisan ini hanya mengingatkan, bahwa Allah Maha Kuasa untuk membolak-balikkan hati seorang hamba. Maka mohonlah taufiq kepadaNya. Maka doakanlah murid atau santri agar mendapatkan taufiqNya. Maka doakanlah suami atau istri jika ada masalah dengannya. Dan sepanjang pemahaman dan sikap seseorang hanya berbeda dalam hal yang diperselisihkan para ulama, mari kita bertoleransi dan berlapang dada.