TAHLILAN 7 MALAM, BID'AH ?? DARI HINDU??

Apakah Tahlilan Bid'ah ?

Dari Ustd. Ii rohkimsd mesjid pinus regency.

SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH DAN MADINAH

Kegiatan yang tidak bertentangan seperti di atas telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu penulis kitab tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah ditinggalkan kaum Muslimin, di dalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :

أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول

“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secaa jelas, amalan ini tidak pernah ditinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada Salafush Shaleh hingga generasi awal Islam. Dan di dalam kitab-kitab Tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan: “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [1]

Ini sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di Makkah dan Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali dikisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis di dalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan menuqil perkataan Imam As-Suyuthi :

أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.

“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah ditinggalkan sejak zaman Sohabat Nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari Salafush Shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “Disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi Malaikat, kebegisannya dan juga gertakannya”. [2]

Istilah 7 hari tersebut adalah berdasarkan riwayat shahih dari Thawus[3]. Yang mana sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir (membiarkannya) Rasulullah SAW. Sebagian ulama. juga mengatakan hanya dilakukan oleh para Sohabat dan tidak sampai pada masa Rosulullah SAW.

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.

[2] Lihat : Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau merupakan murid dari ulama besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi, Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki, Syaikh ‘Ali al-Maghribi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin Muhammad Yasiin al-Fadani.

[3] Oleh karena itu, keliru jika dikatakan bahwa 7 hari semata-mata diambil dari budaya Hindu hanya karena adanya kemiripan. Mirip tidak berarti bahwa hal itu sama, bahkan dari segi asasnya pun sudah berbeda. Adapun terkait istilah 14 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, haul (setahun), 1000 hari dan seterusnya maka itu boleh dengan penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari. Sebab hal itu pada dasarnya bisa dilakukan kapan saja. Sebab amaliyah tersebut boleh dilakukan kapan saja atau dengan penentuan waktu. Seperti halnya penentuan waktu belajar (menuntut ilmu tertentu) sedangkan menuntut ilmu sendiri merupakan kewajiban, menentukan hari dalam mengkhatamkan al-Qur’an dengan menetapkan semisal satu hari menyelesaikan satu juz atau sejumlah ayat tertentu, hal ini boleh demi ketertiban (bab tartib), dan lain sebagainya. Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja, atau menentukannya sesuai keadaan tertentu, apalagi dipandang sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya.

Wallohu'alam ..

0 KOMENTAR