DEFINISI
ILMU USHUL FIQIH
Ushul fiqh
adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi
suatu disiplin ilmu tertentu. Ditinjau dari segi etimologi, ushul fiqh terdiri
dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat
tersebut bukan merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi
masing-masing mudhaf dan mudhaf ilaih mempunyai pengertian
sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan defenisi ushul fiqh, terlebih
dahulu kita harus mengetahui pengertian lafazh “ushul” (yang menjadi mudhaf
) dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).
Fiqh secara etimologi berarti
pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Seperti
firman Allah yang berbunyi: “Maka mengapa orang-orang itu (orang
munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun” (QS. An Nisa: 78)
Juga sabda Rasulullah yang
berbunyi:
مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْنِ
“Barangsiapa dikehendaki
Allah sebagai orang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam persoalan
agama.”
Demikian pua firman Allah dalam
surat Al-A’raf yang berbunyi:
“Dan Sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
(QS. Al A’raf: 179)
Sedangkan pengertian fiqh
menurut terminologi para fuqaha’ (ahli fiqh) adalah tidak jauh dari pengertian
fiqh menurut etimologi. Hanya saja pengertian fiqh menurut terminologi lebih
khusus dari etimologi. Fiqh menurut terminologi adalah “Pengetahuan tentang
hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil
yang terinci (mendetail)”.
Dari definisi tersebut dapat
diketahui bahwa pembahasan ilmu fiqh itu ada 2 macam, yaitu:
- Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengeanai perbuatan manusia yang praktis. Oleh karena itu, hukum-hukum mengenai i’tiqad (keyakinan) seperti ke-Esa-an Allah, terutama para rasul, serta penyampaian risalah Allah oleh para rasul, keyakinan tentang hari kiamat dan hal-hal yang terjadi pada saat itu, kesemuanya tidak termasuk di dalam pengertian fiqh menurut istilah.
- Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terinci (mendetail) pada setiap permasalahan. Seperti bila dikatakan, membeli secara berpesan, itu harus menyerahkan uangnya terlebih dahulu pada waktu akad, maka ia disertai dalilnya dari Al Qur’an. Jika dikatakan, bahwa setiap penambahan dari harta pokok itu disebut riba, maka hal itu disertain dalilnya dari Al Quran yang berbunyi:
“Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan
tidak (pula) dianiyaya” (QS. Al Baqarah: 279)
Bila dikatakan, bahwa memakan
harta benda orang lain dengan cara yang tidak sah itu haram, maka disebutkan
pula dalilnya dari Al Qur’an yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu memakan
harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil. (QS. Al
Baqarah: 188)
Dari sini dapat diketahui, bahwa
pembahasan ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia,
baik halal, haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-masing.
Adapun pengertian ‘ashl’
(jamaknya: ‘ushul’) menurut etimologi adalah dasar (fundamen) yang
diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertian ushul secara
terminologi, karena ushul fiqh menurut terminologi adalah “dasar yang dijadikan
pijakan oleh ilmu fiqh”.
Oleh karena itu Syeikh
Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan defenisi ushul fiqh:
“ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana
(alat) untuk menggali hukum-hukum fiqh”. Atau dengan kata lain, ushul fiqh
adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (methode) pengambilan
(penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari
dalil-dalil syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh mnenetapkan, bahwa perintah
(amar) itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan
hukum haram.
Jika seorang ahli fiqh akan
menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau tidak, maka ia akan mengemukakan
firman Allah SWT di dalam surat aA-Rum 31, Al-Mujadalah 13 dan Al Muzammil 20
yang berbunyi :
“Dirikan shalat.”
Bila ia akan mengemukakan
hukumnya ibadah haji, maka ia mengemukakan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
اِنَّ اللّٰهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا
“Sesungguhnya Allah SWT
telah mewajibkan ibadah haji atas kamu sekalian, maka tunaikanlah ibadah haji
tersebut.”
Demikian juga bila ingin
mengetahui hukumnya meminum khamar (minuman yang memabukkan), maka ia akan
mengemukakan firman Allah yang berbunyi:
“Sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434],
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 90)
Perintah untuk menjauhi berarti
larangan untuk mendekatinya. Dan tidak ada bentuk larangan yang lebih kongkrit
dari larangan tersebut.
Dari contoh tersebut, jelaslah
perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan metode (cara)
yang harus ditempuh oleh ahli fiqh (faqih) di dalam menetapkan
hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dali
tersebut bedasarkan kualitasnya. Dalil dari Al Qur’an harus didahulukan
dari pada qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Al-Qur’an
dan Hadits. Sedangkan fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan
methode-methode tersebut.
0 KOMENTAR