Dari penjelasan tentang hubungan
antara ushul fiqh dengan fiqh serta perbedaan masing-masing, maka jelas pula
bahwa objek ushul fiqh berbeda dengan fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang
berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci,
seperti yang dicontohkan di atas.Adapun obyek ushul fiqh adalah
mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu
tersebut (fiqh dan ushul fiqh) sama-sama membahas dalil-dalil syara’ akan
tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk
menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia.
Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi
argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil
tersebut.Dalam hal ini, ushul fiqh
menjelaskan tentang kehujjahan Al Quran, bahwa Al Quran harus didahulukan
daripada Hadits, dan Al Quran merupakan sumber hukum yang pertama. Juga tentang
dalil-dalil yang zhanni dan yang qath’i (pasti), serta jalan
yang harus ditempuh ketika terjadi pertentangan antara zhahir nash Al Quran dan
Hadits. Ushul fiqh juga menjelaskan tentang perbedaan dilalah
(penunjukan) ungkapan yang berbeda-beda, seperti kedudukan dilalah
yang khas terhadap dilalah yang ‘am. Begitu juga
obyek dari dalil-dalil tersebut, yaitu orang yang menjadi sasaran dari hukum
syara’ yang harus melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan. Ushul fiqh juga
menjelaskan tentang keadaan seseorang yang bersifat situasional/kondisional
seperti tidak (belum) mengerti hukum syara’, salah, lupa, dan sebagainya yang
dapat menggugurkan atau meringankan tuntutan hukum syara’.Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa obyek pembahasan ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
metodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh di dalam menggali hukum syara’
sehingga ia tidak keluar dari jalur yang benar. Jadi obyek pembahasan ushul
fiqh meliputi klasifikasi dalil, orang-orang yang dibebani hukum syara’ sesuai
dengan aplikasi dalil-dalil tersebut, orang-orang yang ahli (berhak) untuk
hukum syara’, serta orang-orang yang tidak berhak, kaidah-kaidah bahasa yang
dijadikan petunjuk oleh ahli fiqh untuk menetapkan hukum-hukum syara’ dari
nash, kaidah-kaidah dalam menggunakan qiyas dan menetapkan titik persamaan (‘illat
jami’ah) antara hukum pokok (asal) yang diqiyasi dan hukum cabang (furu’)
yang diqiyaskan, kemaslahatan yang diperhitungkan oleh syara’, kaidah-kaidah
umum yang dijadikan landasan oleh qiyas, atau menjadikan qiyas sebagai hukum
asal lantaran tidak ada nash khusus untuk meng-qiyaskan hukum-hukum cabang.
Juga meliputi pembahasan tentang maslahat yang bertentangan dengan qiyas yang
secara global disebut istihsan.Disamping itu, ushul fiqh juga
menjelaskan tentang hukum-hukum syara’ beserta tujuannya, rukhsah, ‘azimah dan
lain-lain sebagai kategori metodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh untuk
menggali hukum syara’.Ilmu ushul fiqh selalu mengembalikan
dalil-dalil hukum syara’ kepada Allah SWT. Karena pada dasarnya yang berhak
menetapkan hukum-hukum syara’ hanyalah Allah SWT. Sedangkan dalil-dalil yang
ada hanyalah berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah. Al
Quran-lah yang menyatakan hukum-hukum Allah terhadap manusia, sementara Hadits
berfungsi sebagai penjelasan yang merinci Al Quran, karena Rasulullah SAW tidak
mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya. Sedangkan dalil-dalil yang
lain adalah merupakan cabang (bagian) yang menginduk kepada kedua sumber
tersebut.Jadi objek pembahasan ushul fiqh
ini bermuara pada hukum syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriterianya, dan
macam-macamnya. Hakim (Allah) dari segi dalil-dalil yang menetapkan
hukum, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk
menggali hukum yakni dengan berijtihad.
0 KOMENTAR